Catatan Tentang Film PERAHU KERTAS

Catatan Tentang Film "Perahu Kertas"

Dari semua buku saya yang telah terbit, Perahu Kertas memiliki kedekatan ekstra. Dialah naskah yang paling lama bersama-sama dengan saya. Jauh lebih dulu dari Supernova, Madre, dan seterusnya. Tahun 1996, saya mulai menulis naskah Perahu Kertas. Saat itu, saya masih di bangku kuliah.
Tumbuh besar dengan komik Jepang, cerbung majalah, saya tergila-gila dengan konsep serial. Batin dan otak saya seperti distimulasi ketika harus memikirkan cerita yang berlapis, multigenerasi, dan terjadi dalam kurun waktu yang panjang. Satu waktu, sepotong lirik lagu Indigo Girls, mencuri perhatian saya:
"Maybe that's all that we need, is to meet in the middle of impossibility.
Standing at opposite poles. Equal partners in a mystery."
Secuplik lirik itu membuat saya berhenti dan merenung. Membayangkan dua orang manusia yang bertemu di tengah kemustahilan. Dari sanalah, terlahir sosok Kugy dan Keenan. Persahabatan, cita-cita, keluarga, dan cinta, adalah unsur-unsur yang diramu dalam Perahu Kertas. Unsur-unsur yang ada dalam hidup setiap manusia. Kisah ini adalah kisah transformasi Kugy dan Keenan, yang bersama pusarannya, ikut mentransformasi kehidupan orang-orang di sekitar mereka, termasuk orang-orang yang menyakiti dan mereka sakiti. Di atas permukaan sebuah drama, sesungguhnya yang terjadi adalah pertumbuhan. Pendewasaan. Itu yang saya pahami dari kehidupan ini. Itu pula yang ingin saya ungkapkan lewat Perahu Kertas.
Dari semua buku saya yang telah terbit, Perahu Kertas-lah yang paling pertama saya bayangkan punya format visual. Sejak menuliskannya dari umur belasan tahun, selalu saya bayangkan Kugy dan Keenan kelak akan mengambil "kehidupan" di luar batas kertas dan huruf. Mereka akan menjadi karakter yang berwujud dan bersuara. Persiapan pun diam-diam saya lakukan, termasuk mengikuti workshop penulisan skenario pada tahun 2001. Ketika ditanya kenapa saya ikut, saya menjawab dengan yakin: "Karena suatu hari, saya akan menulis skenario dari cerita yang saya buat sendiri." Dalam benak saya, cerita tersebut tak lain adalah Perahu Kertas.
Karena itulah, tanpa ragu saya menyambut baik tawaran Bentang Pustaka dan Mizan Productions, yang datang bersamaan menawarkan penerbitan buku dan pembuatan film. Syarat yang saya ajukan sederhana, tapi (mungkin) sebetulnya berat (dan banyak): saya ingin menulis skenarionya, saya ingin ikut memilih sutradara, saya ingin ikut memilih cast, dan saya ingin menyumbang lagu untuk soundtrack. Untunglah Mizan Productions tidak mundur karena syarat-syarat tersebut.
Saya sadar harus belajar ulang untuk menulis skenario. Belajar dari nol. Buku-buku teori screenplay pun saya lalap, termasuk mempelajari naskah-naskah film yang menurut saya bagus, dan dari sana 'lah saya mulai "memutilasi" novel saya sendiri. Kugy dan Keenan ikut mentransformasi saya dari penulis fiksi menjadi penulis skenario. Proses yang tidak mudah.
Dee & karya terbarunya "Partikel"Industri film adalah industri kolektif yang melibatkan begitu banyak suara sebagai pengambil keputusan kreatifnya. Bertolak belakang dengan proses kreatif fiksi yang sepi dan suka-suka sendiri. Saya harus beradaptasi dengan permintaan banyak orang, kompromi dengan banyak hal. Sebuah adegan harus punya unsur praktis, dari segi pemain, lokasi, artistik, jadi tidak semata-mata idealis. Saya belajar luar biasa banyak dari proses ini. Ada kegembiraan, tapi banyak juga keraguan.
Bertemu langsung dengan Hanung Bramantyo adalah momen di mana saya menemukan titik yakin pada kali pertama. Muncul intuisi bahwa film ini berada di tangan yang tepat. Sebuah novel yang dijadikan film selalu mengemban beban ekstra besar. Ibarat orang kalah sebelum tempur, film berbasiskan novel sejak detik pertama akan berperang dengan film yang duluan ada di teater khayal pembaca. Mereka punya Kugy sendiri, Keenan sendiri, yang kemungkinan besar tidak pernah bisa persis sama dengan yang kami gambarkan. Hanung tahu itu. Saya tahu itu. Semua pemain pun memahaminya.
Saya dan Hanung cukup sering berdebat dan berdiskusi, hingga sampailah saya pada kesimpulan: ini adalah Perahu Kertas yang berbeda. Sebagai penulis, saya harus rela menanggalkan Perahu Kertas dalam benak Dee, dan mulai mengapresiasi Perahu Kertas dalam benak Hanung Bramantyo dari Dapur Film, dalam benak Chand Parwez dari Starvision, atau Putut Widjanarko dari Mizan Productions. Berbeda bukan berarti salah. Berbeda malah bisa jadi lebih indah. Yang paling penting adalah, kerelaan kita untuk berhenti memerangkannya dengan wujud ideal dalam kepala kita semata dan mulai mengapreasi versi orang lain.
Inilah barangkali yang ingin saya bagi ke pembaca, calon penonton Perahu Kertas versi film. Relakskan benak Anda, mari melihat wujud Perahu Kertas yang mungkin berbeda, tapi simaklah spiritnya. Spirit Perahu Kertas sama dan tidak berubah. Kisah ini bercerita tentang perjalanan hati, transformasi, dari "aku yang memilih" menjadi "aku yang dipilih". Kisah ini adalah refleksi perjalanan kita semua, yang dengan porsi dan waktunya masing-masing, akhirnya belajar berdamai dengan hidup.
Ketika diundang melihat preview pertama kali, dan lagu Perahu Kertas berkumandang di tengah film, saya tak sanggup menahan tangis. Saya menyadari rampungnya sebuah siklus. Diawali dari alam abstrak tempat saya menciptakan kisah Kugy dan Keenan, kini saya duduk sebagai penonton. Membiarkan mereka yang berbicara tentang kisah Perahu Kertas kepada saya. Apa pun parameter kesuksesan yang dipakai untuk menilai film ini kelak, ia telah berhasil menyentuh hati saya. Untuk itu, tergenapilah sudah. Saya akan keluar dari gedung bioskop dengan senyum lebar.  

Mulai tayang tanggal 16 Agustus 2012
sumber

0 komentar:

Posting Komentar