Disyariatkannya puasa sesungguhnya merupakan bagian dari
pelestarian ajaran agama-agama sebelumnya. Hal itu tentu bisa dilihat dari
perintah menjalankan puasa di dalam teks al-Qur’an bahwa puasa juga dilakukan
oleh umat sebelum Islam. Jadi ketika Islam diwahyukan kepada Muhammad saw yang
tidak lain adalah penerus agama hanif, maka Islam juga mengambil sebagian hukum
dan tradisi di dalam agama-agama sebelumnya, baik yang menambah atau mengurangi
atau bahkan menetapkan ajaran agama yang sudah pernah ada.
Puasa merupakan tradisi di dalam agama-agama. Agama
monotheis telah menjadikan puasa sebagai bagian penting di dalam ajarannya.
Yahudi, Nasrani dan Islam memiliki tradisi puasa. Ada yang melakukan puasa
dengan pantangan makanan tertentu. Jadi puasa sesungguhnya memiliki genealogi
teks di dalam agama-agama semitis lainnya.
Islam di dalam syariat puasa telah menentukan bahwa puasa
dilakukan pada bulan Ramadlan selama sebulan penuh. Di dalam puasa dilarang
untuk makan, minum dan melakukan relasi seksual di siang hari. Di sini disebut
sebagai rukun puasa. Hal itu telah dituangkan di dalam Surat Al Baqarah, ayat
187. Dari ayat ini juga diperoleh gambaran bahwa tujuan disyariatkannya puasa
adalah untuk tujuan bertaqwa.
Jika puasa hanya untuk mencegah tiga hal itu, bisa jadi
banyak orang yang mampu melakukannya. Ada banyak orang yang kuat untuk
melakukannya. Asalkan sehat secara fisik maka pastilah akan kuat untuk menahan
tidak makan dan minum selama 8,5 jam. Tinggal menahan tidak melakukan hubungan
seks, yang juga pasti bisa dilakukan. Akan tetapi yang sulit adalah menahan
hawa nafsu, misalnya membicarakan aib orang, mencibir, mentertawakan, sikap iri
yang bercorak keduniawian, menggunjingkan orang dan sebagainya. Terhadap
hal inilah yang “rasanya” jauh lebih sulit mengatasinya dibandingkan dengan
menahan makan, minum dan berhubungan seks.
Nabi Muhammad saw dalam suatu momen pasca Perang Badar
–perang terbesar dalam sejarah Islam—menyatakan dalam suatu ungkapan bebas,
bahwa “kita baru saja menyelesaikan peran kecil dan akan berperang yang lebih
besar ialah perang melawan hawa nafsu”. Jadi berperang
melawan hawa nafsu ternyata lebih besar dan sulit dalam pandangan Nabi Muhammad
saw dibandingkan dengan Perang Badar tersebut.
Dewasa ini kita sedang hidup di tengah tantangan globalisasi
yang meniscayakan segala sesuatu terjadi. Tantangan budaya permisiveness –serba
boleh—yang dilansir oleh dunia barat, tantangan akses ekonomi yang sulit,
tantangan politik yang semakin jauh dari moralitas dan sebagainya merupakan
problem pelik. Tantangan puasa yang sesungguhnya adalah bagaimana
menghadapi tantangan yang besar seperti itu. Makanya puasa lalu seharusnya
menjadikan kita kritis dalam menghdapi hal tersebut. Kita tidak bisa mengikuti
budaya barat yang permisiveness tanpa reserve atau menolak secara apriori. Di
sini diperlukan kearifan agar kita menjadi kritis.
Oleh karena itu, puasa tidak hanya diartikan sebagai menahan
makan, minum dan hubunga seks. Jika hanya itu, maka makna puasa akan
tereduksi secara fisikal. Padahal puasa tersebut memiliki makna spiritual yaitu
kemampuan untuk menahan hawa nafsu di era seperti sekarang.
Jadi berpuasa sekarang jauh lebih berat dibanding puasa di
masa lalu, sebab tantangan puasa semakin kompleks.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Like this :)
BalasHapus